Sebuah pertemuan, kata orang pasti akan ada perpisahan. Meski kita tidak pernah menginginkan atau sekedar terbesit pikiran akan sebuah perpisahan, nyatanya perpisahan selalu ada. Bahkan tak jarang secara mendadak. Tahun ini, akhir pekan ini atau bahkan hari ini, kami masih saling bersenda gurau, makan berdua, jalan-jalan beramai-ramai, belajar bersama, dan berbagi keceriaan lainnya, namun tahun ini, Tuhan menggariskan bahwa kesendirian harus bersama saya. Akhir pekan atau bahkan tiba-tiba hari ini Tuhan memisahkan kami.
Siapkah saya menerima kenyataan bahwa kami terpisah oleh jarak yang sangat jauh, mungkin berpuluh-puluh, beratus-ratus, atau bahkan beribu-ribu kilometer jarak yang terbentang antara kami karena keberadaannya yang terlampau jauh, bahkan nyaris saya pun tak tau keberadaannya? Karena Tuhan memisahkan kami secara mendadak tanpa petunjuk yang jelas.
Tidak siap. Bahkan tak pernah terpikir oleh saya bahwa saya akan ditinggalkannya. Yang pernah terpikir, saya yang akan meninggalkannya.
Terdengar egois ya?
Karena saya berpikir tempat ini yang terbaik untuknya, sedangkan tidak bagi saya. Setidaknya, terbaik untuknya, namun tidak baik bagi saya, untuk saat ini. Saya meyakini bahwa kami akan melalui hari-hari di sini (meski untuk beberapa saat akan saya tinggalkan) hingga dirinya mandiri. Sehingga meski saya tak ada selalu disampingnya lagi, saya masih bisa menemuinya setiap saat untuk tetap berbagi kebahagiaan dan saling melepas rindu yang rasanya benar-benar menyesakkan dada.
Sembari saya menuntut ilmu di luar sana, saya masih bisa melihat usaha, perkembangan, kesuksesannya, hingga kemapanannya kelak.
Nyatanya itu hanya sebuah imaginasi, sekedar harapan, atau bahkan mungkin sepotong mimpi konyol saya saja.
Tuhan memisahkan kami dengan sangat cepat.
Secepat saya mengagumi, menyayangi, dan mungkin mencintainya. Secepat saya memutuskan untuk menjadikannya bagian terbaik dalam hidup saya. Secepat saya meletakkannya di prioritas utama bersama orang-orang dan berbagai impian saya. Secepat saya menjadikannya sebagai oksigen saya untuk membuat saya tetap bernafas dan hidup.
Terdengar berlebihan atau mengada-ada?
Mungkin.
Tapi nyatanya, saat ini, saya kehilangan semangat untuk menjadi lebih karena kehilangan sebagian oksigen. Bagaimana saya bisa berlari secepat tahun lalu, minggu lalu, atau bahkan kemarin, jika jumlah persediaan oksigen saya semakin berkurang?
Katanya, (namun kali ini saya mempercayainya) Tuhan akan menjamin kehidupan bagi setiap ciptaan-Nya. Maka, dengan demikian meski saya tak lagi memiliki amunisi sebanyak waktu lalu, saya percaya bahwa Tuhan akan menjamin kehidupan saya jika Sang Maha Pemilik Kehidupan masih menghendaki saya menjadi mahkluk ciptan-Nya yang paling sempurna (bukankah manusia adalah ciptaan-Nya yang paling sempurna karena dibekali akal dan pikiran?), untuk menjadi pemimpin di dunia ini (bukankah tugas manusia adalah menjadi pemimpin di bumi?).
Karena hidup tidak memerlukan dan melihat berapa banyak cadangan oksigen dan berapa lumbung persediaan makanmu untuk bertahan hidup. Namun, kecukupan.
-----
This is dedicated to three of my students and the lastest one who have really stolen my heart. Wherever you are, I hope you are showered by unconditional love, care, happiness, and blessing. Aamiin.
The picture
was taken at http://www.polyvore.com/cute_random_quotes/collection?id=548173